A.Pendahuluan
Iklan sebagai salah satu pemberi ruh hidupnya suatu media menjadi
bagian penting dalam strategi pemasaran modern. Iklan dituntut untuk
menempatkan produk yang mereka iklan kan di hati khalayak. Iklan yang muncul di
media massa umumnya dapat dianggap sarana agar khalayak membeli
produk yang diiklankan.
Pemasangan iklan sangat
berkepentingan dengan rating. Tentunya pemasang iklan ingin sekali menempatkan
iklannya diacara paling banyak ditonton atau didengar khalayak (Gazali,2002:25).
Iklan dan Perempuan tidak dapat
dipisahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari karena perempuan menjadi
sasaran empuk dalam dunia periklanan. Maka iklan tanpa wajah perempuan akan
terasa hambar. Iklan bukan hanya sekedar mengekplorasi nilai-nilai produk yang
diiklankan, lebih dari itu iklan juga berusaha membangun nilai-nilai sosial
yang ada di masyarakat. Perempuanlah yang sering menjadi pihak tersakiti dengan
nilai-nilai yang dibangun oleh iklan.
Persoalan gender atau kesetaraan
gender bukanlah hal baru dalam ilmu sosial seperti hukum, ekonomi. Namun hal
itu tidak serta merta membuat masyarakat paham mengenai apa itu kesetaran
gender. Banyak masyarakat yang masih awam kendati sudah ada upaya untuk
memberikan pengetahuan terhadap mereka. Hal ini diyakini karena kuatnya sistem
Patriaki di Indonesia khususnya di daerah Jawa.
Adanya anggapan bahwa perempuan adalah sosok rajin dan lemah lembut
serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga dan tugasnya hanya terbatas
di wilayah domestik . Konsekuensinya banyak perempuan yang bekerja keras untuk
mencuci, memasak, mencari air hingga mengurus anak. Lebih lagi jika hal ini
terjadi di keluarga strata ekonomi rendah (Fakih,2001:21).
Iklan detergen, sabun, dan alat-alat lain yang berhubungan dengan
kegiatan rumah tangga , maka perempuanlah yang menjadi tokoh utama. Biasanya di
representasikan dengan adegan mencuci , atau mengepel dengan tangannya sendiri.
Satu iklan yang menarik perhatian kami adalah Iklan Super Pell.
Iklan ini sudah lama malang melintang menghiasi layar kaca rumah anda. Dibuka dengan
adegan sebuah rumah yang lantainya kotor, lantas sang ibu sudah siap dengan pel
di tangannya sedang sang ayah dengan setelan rapih dengan baju kerjanya. Tampak
iklan tersebut tidak memiliki distorsi apapun dalam visualisasinya.
Melalui iklannya, Super Pell berusaha melekatkan citra bahwa
perempuan adalah raja di wilayah domestik. Disana posisi ayah sebagai kepala rumah tangga hanya mempunyai tanggung jawab di wilayah publik.

Gambar I: Potongan Iklan Super Pell
Potongan gambar diatas sudah cukup menggambarkan bias gender yang
direpresentasikan melalui iklan Super Pell ini. Iklan berdurasi sekitar 30
detik ini sangat menggambarkan kondisi mayoritas perempuan di Indonesia yang
hanya menjadi kepala di wilayah domestik namun terkekang ketika hendak
merangkak keluar.
Lalu kenapa dengan iklan ini? Iklan ini menjadi bagian nyata
kehidupan banyak perempuan tanah air yang sudah langgeng bertahan sampai saat
ini.
B. Metode
1. Definisi FGD
FGD merupakan sebuah metode penelitian yang
digunakan dalam upaya yang sistematis untuk mengumpulkan data dan informasi .
Dewasa ini FGD merupakan metode yang banyak digunakan untuk melakukan
penelitian.
Artinya, walaupun pada hakikatnya merupakan sebuah diskusi, FGD tidak
sama dengan wawancara, rapat, ataupun bincang-bincang. FGD juga bukan pula
sekedar kumpul-kumpul beberapa orang untuk membicarakan suatu hal.
Dalam
FGD, para peserta diharapkan berkumpul di suatu tempat dan proses pengambilan
informasi dilakukan melalui seorang fasilitator. Berbeda dengan wawancara,
dalam diskusi fasilitator tidak selalu bertanya. Tugasnya justru bukan untuk
bertanya, tetapi mengemukakan suatu persoalan, suatu kasus, suatu kejadian,
sebagai bahan diskusi. Jelas dalam prosesnya ia akan sering bertanya, tetapi
itu hanya sebagian dari keterampilan mengelola diskusi agar tidak didominasi
oleh sebagian peserta (Irwanto,2006:2).
Sangat
tidak tepat orang yang beranggapan bahwa FGD bertujuan untuk menyelesaikan
suatu masalah atau mencari konsensus atas masalah yang mesti di diskusikan.
Meskipun terlihat sederhana, menyelenggarakan suatu FGD yang hanya berlangsung
1-3 jam, memerlukan persiapan, kemampuan, dan keahlian khusus. Ada prosedur
yang harus diperhatikan agar supaya hasilnya benar dan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai.
2. Membentuk Tim
Untuk
melancarkan jalannya FGD ini, kami membagi peran kepada setiap anggota kelompok
1.
Moderator : Elsa
Istiqomah
2.
Pencatat Proses : Winda
Tamara
3.
Penyedia Logistik : Alfian
Azhar
4.
Dokumentasi : Siti
Fitri Pellu
5.
Penghubung peserta : Krisna Arya
3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Focused Group Discussion kelompok dua
dilaksanakan pada hari Minggu, 12 Januari 2015 bertempat di Lantai 3 Mesjid KH.
Ahmad Dahlan, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4.
Menyiapkan Logistik
Untuk memperlancar jalannya FGD ada beberapa
yang telah disiapkan oleh panitia yakni satu buah laptop, satu buah kamera
untuk mendokumentasikan jalannya FGD serta konsumsi untuk peserta yang hadir
5. Jumlah
Peserta
FGD ini dihadiri oleh 6 orang peserta yang
tergabung dalam komunitas Baraya atau Barudak Tasikmalaya-Yogyakarta yang
merupakan sebuah paguyuban yang menampung mahasiswa asal Tasikmalaya atau
pernah sekolah di Tasikmalaya, atau yang lahir di Tasikmalaya. Berikut
nama-nama yang menghadiri FGD ini:
Ø Livi Takliviyah jurusan Agroteknologi
Ø Nurul Fauziyah jurusan KKI
Ø Neng Azrhariyyah Sofa jurusan Ilmu Pemerintahan
Ø Fikri Dzulfikar jurusan Ilmu Pemerintahan
Ø Dhana Charuba Ardhanary jurusan Ilmu Hukum
Ø Naashiril Haq jurusan Psikologi
6.Kronologi
Kegiatan literasi ini seharusnya dimulai pukul
10.00 WIB, namun karena peserta yang tidak datang tepat waktu maka diskusi pun
dimulai pada pukul 10.30 WIB sampai dengan 11.30 WIB. Kegiatan berlangsung
dengan lancar dengan diawali pembukaan serta perkenalan anggota kelompok, tidak
lupa kami menyampaikan maksud dan tujuan kami mengadakan FGD ini. Masuk kedalam
topik yang hendak dibahas, moderator melemparkan bahan diskusi berupa pemutaran
video iklan super pell yang berdurasi sekitar 30 detik. Diawal diskusi peserta
belum terangsang untuk memberikan pendapatnya. Namun ketika dua orang peserta
laki-laki mulai berpendapat, maka jalannya diskusi menjadi lebih hidup. Para
peserta aktif untuk memberikan tanggapan terhadap bahan diskusi yang
dilemparkan oleh moderator. Selama diskusi berlangsung para panitia diskusi
menjalankan peran sesuai dengan porsi nya sehingga diskusi belangsung lancar
tanpa hambatan berarti.
B. Pembahasan
1.Bias Gender dalam Visualisasi Iklan
Diskursus mengenai gender sampai saat ini masih
menjadi topik menarik yang masih hangat untuk didiskusikan. Selama masih ada
orang yang mempertanyakan ketidakadilan gender, maka akan selalu ada
pihak-pihak yang merasa menjadi pihak termarjinalisasi terutama menyangkut
ideologi nya. Sebagai contoh dalam dunia periklanan perempuan selalu menjadi
pihak yang terikat dari berbagai sisi. Baik di posisikan sebagai pemakai,
pelaku atau bahkan menjadi objek itu sendiri. Dunia periklanan saat ini berhasil
menjadikan perempuan sebagai komoditi yang dikomersialisasikan untuk
kepentingan industri.
Pada sebuah tayangan iklan televisi yang menawarkan produk
pengharum lantai diperlihatkan sebuah adegan slice of life yang
memvisualisasikan seorang ibu rumah tangga yang membawa pel serta suami nya
yang memakai baju kantor. Ketika lantai di rumah mereka kotor maka dengan
cekatan si ibu membersihkannya menggunakan super pell.
Ide dasar untuk
memvisualisasikan iklan tersebut dihubungkan dengan bentuk rutinitas ibu rumah tangga setiap hari. Visualisasi
representasi iklan tersebut memanfaatkan kode-kode sosial yang mengambil
perspektif gender dalam interaksi anggota keluarga. Perempuan dalam hal ini dijadikan subjek
untuk membangun citra suatu produk lewat perannya sebagai ibu rumah tangga.
Penawaran produk yang seyogyanya memperlihatkan keunggulan produk tersebut,
namun nyatanya didominasi cuplikan peran seorang ibu rumah tangga yang mudah
diterima audience. Iklan tersebut merefleksikan peran seorang ibu rumah
tangga yang sepenuhnya bertanggung jawab dalam sektor domestik khususnya disini
kebersihan lantai.
2.Islam dalam Memandang Kesetaraan Gender
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan penggambaran iklan
tersebut. Bukannya memang tugas seorang perempuan untuk mengurus anak dan
suami.” Ujar salah seorang peserta diskusi Naashiril Haq. Berbeda dengan Naashiril Haq, Nurul Fauziyah yang
merupakan mahasiswi KKI mengatakan bahwa Al-Qur’an sendiri telah berbicara
mengenai gender .
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Laki-laki itu pemimpin atas perempuan (Q.S An-Nisa:34)
Tafsiran dari ayat tersebut sebenarnya bukanlah
laki-laki dan perempuan dalam perspektif sex. Karena kunci dari kata Ar-rijalu
dan An-Nisaa bukanlah untuk menunjukan jenis kelamin namun
sebaliknya ini merupakan dalil keadilan gender dalam Al-Qur’an. Seorang
perempuan yang memiliki kapasitas melebihi seorang laki-laki disini bisa
dikatakan sebagai Ar-rijalu. Banyak laki-laki yang menjadikan ayat ini
sebagai legalisasi untuk mereka berbuat semena-mena terhadap perempuan, namun
kenyataannya mereka bodoh untuk memahami ayat ini. Mereka hanya melihat segi
tekstual namun tidak memperhatikan tafsir yang merujuk pada kondisi masyarakat
saat turunnya ayat tersebut.
Sejalan dengan ucapan Nurul, Fikri mengatakan bahwa tidak ada salahnya seorang perempuan
menjadi pemimpin, dahulu di zaman Para Sahabat, Siti Aisyah berperan sebagai
pemimpin di perang Jamal. Ini membuktikan bahwa islam tidaklah melegalkan ketidakadilan
gender terhadap kaum perempuan.
3. Bias Gender dan Budaya Patriaki
Bukanlah islam yang harus disalahkan mengenai
ketidakadilan gender di tengah masyarakat Indonesia. Namun budaya patriaki yang
sudah mendarah daging ditengah masyarakat yang harus di koreksi.
Permasalah yang menjadi wacana gender ini mulai timbul
mana kala estesisasi untuk merefleksikan produk menyinggung bias gender di
dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu untuk membangun citra suatu produk
berakhir dengan sebuah kontroversi ketidak adilan gender di dalamnya. Contoh
yang mudah dijumpai pada komoditas keperluan rumah tangga, dan anak. Disana
akan dijumpai perempuan menjadi pemeran utama yang di visualisasikan melalui
sebuah iklan. Hal ini didasari pada fenomena kode-kode sosial yang ada. Bahwa
peran gender yang pas untuk fungsi dan kepengurusan merawat serta mengasuh
anak-anak lebih ditujukan kepada perempuan. Ditambah dengan visualisasi yang
sedemikian dramatis menambah kokohnya kontruksi sosial yang coba dibangun
melalui sebuah iklan.
Namun ada hal yang menggelitik mengenai iklan, meskipun
iklan hadir sebagai sarana untuk membuat khalayak membeli produk yang
diiklankan namun tidak serta merta masyarakat percaya dan tertarik atas apa
yang diiklankan seperti yang dikatakan oleh Fikri Dzulfikar.
Sebuah studi juga melaporkan bahwa lebih dari 70 persen
konsumen tidak percaya iklan yang menggunakan hasil tes untuk menyokong
keunggulan produknya. (Engel, Blackwell, dan Paul,1995: 30)
C.Kesimpulan
Iklan dan Perempuan tidak dapat
dipisahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari karena perempuan menjadi
sasaran empuk dalam dunia periklanan. Maka iklan tanpa wajah perempuan akan
terasa hambar. Iklan bukan hanya sekedar mengekplorasi nilai-nilai produk yang
diiklankan, lebih dari itu iklan juga berusaha membangun nilai-nilai sosial
yang ada di masyarakat. Perempuanlah yang sering menjadi pihak tersakiti dengan
nilai-nilai yang dibangun oleh iklan.
Persoalan gender atau kesetaraan
gender bukanlah hal baru dalam ilmu sosial seperti hukum, ekonomi. Namun hal
itu tidak serta merta membuat masyarakat paham mengenai apa itu kesetaran
gender. Banyak masyarakat yang masih awam kendati sudah ada upaya untuk
memberikan pengetahuan terhadap mereka. Hal ini diyakini karena kuatnya sistem
Patriaki di Indonesia khususnya di daerah Jawa.
Permasalah yang menjadi wacana gender ini mulai timbul
mana kala estesisasi untuk merefleksikan produk menyinggung bias gender di
dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu untuk membangun citra suatu produk
berakhir dengan sebuah kontroversi ketidakadilan gender didalam nya. Contoh
yang mudah dijumpai pada komoditas keperluan rumah tangga, dan anak. Disana
akan dijumpai perempuan menjadi pemeran utama yang di visualisasikan melalui
sebuah iklan. Hal ini didasari pada fenomena kode-kode sosial yang ada. Bahwa
peran gender yang pas untuk fungsi dan kepengurusan merawat serta mengasuh
anak-anak lebih ditujukan kepada perempuan. Ditambah dengan visualisasi yang
sedemikian dramatis menambah kokohnya kontruksi sosial yang coba dibangun
melalui sebuah iklan.
D.
Daftar Pustaka
Buku
Engel,James F.,Blackwell,Roger D., & Minniard,Paul W. 1995.
Perilaku Konsumen.
Jakarta:Binarupa Aksara
Fakih,Mansour.2001.Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gazali,Effendi.2002.Penyiaran Alternatif tapi Mutlak.Jakarta:Jurusan
Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Indonesia
Irwanto.2006.Focused Group Discussion (FGD) Sebuah Pengantar Praktis.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Jurnal Online
Suasana,Arif A. Januari 2001, “Hubungan Gender dalam Representasi
iklan Televisi”. Nirmala Vol. 3 , 16 Januari 2015.
E. Lampiran Dokumentasi Kegiatan
Gambar II: Suasana ketika FGD berlangsung
Gambar III: Suasana ketika FGD Berlangsung
Gambar IV: Salah seorang peserta sedang menyampaikan pendapatnya
Jadi begitu realitanya. Bagus, lanjutkan.
BalasHapusbagus.
BalasHapusI agree with your opinion
BalasHapusTerimakasih atas kunjungannya
HapusBaguuuss......
BalasHapusSemangat Neng Winda .....!!!!