Sabtu, 17 Januari 2015

Bias Gender Pada Iklan Super Pell


A.Pendahuluan
Iklan sebagai salah satu pemberi ruh hidupnya suatu media menjadi bagian penting dalam strategi pemasaran modern. Iklan dituntut untuk menempatkan produk yang mereka iklan kan di hati khalayak. Iklan yang muncul di media massa umumnya dapat dianggap sarana agar khalayak membeli produk yang diiklankan. Pemasangan iklan sangat berkepentingan dengan rating. Tentunya pemasang iklan ingin sekali menempatkan iklannya diacara paling banyak ditonton atau didengar khalayak (Gazali,2002:25). Iklan dan Perempuan tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari karena perempuan menjadi sasaran empuk dalam dunia periklanan. Maka iklan tanpa wajah perempuan akan terasa hambar. Iklan bukan hanya sekedar mengekplorasi nilai-nilai produk yang diiklankan, lebih dari itu iklan juga berusaha membangun nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Perempuanlah yang sering menjadi pihak tersakiti dengan nilai-nilai yang dibangun oleh iklan. Persoalan gender atau kesetaraan gender bukanlah hal baru dalam ilmu sosial seperti hukum, ekonomi. Namun hal itu tidak serta merta membuat masyarakat paham mengenai apa itu kesetaran gender. Banyak masyarakat yang masih awam kendati sudah ada upaya untuk memberikan pengetahuan terhadap mereka. Hal ini diyakini karena kuatnya sistem Patriaki di Indonesia khususnya di daerah Jawa. Adanya anggapan bahwa perempuan adalah sosok rajin dan lemah lembut serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga dan tugasnya hanya terbatas di wilayah domestik . Konsekuensinya banyak perempuan yang bekerja keras untuk mencuci, memasak, mencari air hingga mengurus anak. Lebih lagi jika hal ini terjadi di keluarga strata ekonomi rendah (Fakih,2001:21). Iklan detergen, sabun, dan alat-alat lain yang berhubungan dengan kegiatan rumah tangga , maka perempuanlah yang menjadi tokoh utama. Biasanya di representasikan dengan adegan mencuci , atau mengepel dengan tangannya sendiri. Satu iklan yang menarik perhatian kami adalah Iklan Super Pell. Iklan ini sudah lama malang melintang  menghiasi layar kaca rumah anda. Dibuka dengan adegan sebuah rumah yang lantainya kotor, lantas sang ibu sudah siap dengan pel di tangannya sedang sang ayah dengan setelan rapih dengan baju kerjanya. Tampak iklan tersebut tidak memiliki distorsi apapun dalam visualisasinya. Melalui iklannya, Super Pell berusaha melekatkan citra bahwa perempuan adalah raja di wilayah domestik.  Disana posisi ayah sebagai kepala rumah tangga hanya mempunyai tanggung jawab di wilayah publik.   
                                     Gambar I: Potongan Iklan Super Pell 
 Potongan gambar diatas sudah cukup menggambarkan bias gender yang direpresentasikan melalui iklan Super Pell ini. Iklan berdurasi sekitar 30 detik ini sangat menggambarkan kondisi mayoritas perempuan di Indonesia yang hanya menjadi kepala di wilayah domestik namun terkekang ketika hendak merangkak keluar.
Lalu kenapa dengan iklan ini? Iklan ini menjadi bagian nyata kehidupan banyak perempuan tanah air yang sudah langgeng bertahan sampai saat ini.  
B. Metode

1. Definisi FGD
       FGD merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan dalam upaya yang sistematis untuk mengumpulkan data dan informasi . Dewasa ini FGD merupakan metode yang banyak digunakan untuk melakukan penelitian.
        Artinya, walaupun pada hakikatnya merupakan sebuah diskusi, FGD tidak sama dengan wawancara, rapat, ataupun bincang-bincang. FGD juga bukan pula sekedar kumpul-kumpul beberapa orang untuk membicarakan suatu hal.
      Dalam FGD, para peserta diharapkan berkumpul di suatu tempat dan proses pengambilan informasi dilakukan melalui seorang fasilitator. Berbeda dengan wawancara, dalam diskusi fasilitator tidak selalu bertanya. Tugasnya justru bukan untuk bertanya, tetapi mengemukakan suatu persoalan, suatu kasus, suatu kejadian, sebagai bahan diskusi. Jelas dalam prosesnya ia akan sering bertanya, tetapi itu hanya sebagian dari keterampilan mengelola diskusi agar tidak didominasi oleh sebagian peserta (Irwanto,2006:2).
       Sangat tidak tepat orang yang beranggapan bahwa FGD bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencari konsensus atas masalah yang mesti di diskusikan. Meskipun terlihat sederhana, menyelenggarakan suatu FGD yang hanya berlangsung 1-3 jam, memerlukan persiapan, kemampuan, dan keahlian khusus. Ada prosedur yang harus diperhatikan agar supaya hasilnya benar dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

2. Membentuk Tim
       Untuk melancarkan jalannya FGD ini, kami membagi peran kepada setiap anggota kelompok
   1.     Moderator                : Elsa Istiqomah
   2.    Pencatat Proses        : Winda Tamara
   3.     Penyedia Logistik    : Alfian Azhar
   4.      Dokumentasi            : Siti Fitri Pellu
   5.    Penghubung peserta : Krisna Arya

3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
              Focused Group Discussion kelompok dua dilaksanakan pada hari Minggu, 12 Januari 2015 bertempat di Lantai 3 Mesjid KH. Ahmad Dahlan, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4.    Menyiapkan Logistik
              Untuk memperlancar jalannya FGD ada beberapa yang telah disiapkan oleh panitia yakni satu buah laptop, satu buah kamera untuk mendokumentasikan jalannya FGD serta konsumsi untuk peserta yang hadir
5. Jumlah Peserta
FGD ini dihadiri oleh 6 orang peserta yang tergabung dalam komunitas Baraya atau Barudak Tasikmalaya-Yogyakarta yang merupakan sebuah paguyuban yang menampung mahasiswa asal Tasikmalaya atau pernah sekolah di Tasikmalaya, atau yang lahir di Tasikmalaya. Berikut nama-nama yang menghadiri FGD ini:
Ø  Livi Takliviyah jurusan Agroteknologi
Ø  Nurul Fauziyah jurusan KKI
Ø  Neng Azrhariyyah Sofa jurusan Ilmu Pemerintahan
Ø  Fikri Dzulfikar jurusan Ilmu Pemerintahan
Ø  Dhana Charuba Ardhanary jurusan Ilmu Hukum
Ø  Naashiril Haq jurusan Psikologi

6.Kronologi
            Kegiatan literasi ini seharusnya dimulai pukul 10.00 WIB, namun karena peserta yang tidak datang tepat waktu maka diskusi pun dimulai pada pukul 10.30 WIB sampai dengan 11.30 WIB. Kegiatan berlangsung dengan lancar dengan diawali pembukaan serta perkenalan anggota kelompok, tidak lupa kami menyampaikan maksud dan tujuan kami mengadakan FGD ini. Masuk kedalam topik yang hendak dibahas, moderator melemparkan bahan diskusi berupa pemutaran video iklan super pell yang berdurasi sekitar 30 detik. Diawal diskusi peserta belum terangsang untuk memberikan pendapatnya. Namun ketika dua orang peserta laki-laki mulai berpendapat, maka jalannya diskusi menjadi lebih hidup. Para peserta aktif untuk memberikan tanggapan terhadap bahan diskusi yang dilemparkan oleh moderator. Selama diskusi berlangsung para panitia diskusi menjalankan peran sesuai dengan porsi nya sehingga diskusi belangsung lancar tanpa hambatan berarti.







B. Pembahasan
1.Bias Gender dalam Visualisasi Iklan
Diskursus mengenai gender sampai saat ini masih menjadi topik menarik yang masih hangat untuk didiskusikan. Selama masih ada orang yang mempertanyakan ketidakadilan gender, maka akan selalu ada pihak-pihak yang merasa menjadi pihak termarjinalisasi terutama menyangkut ideologi nya. Sebagai contoh dalam dunia periklanan perempuan selalu menjadi pihak yang terikat dari berbagai sisi. Baik di posisikan sebagai pemakai, pelaku atau bahkan menjadi objek itu sendiri. Dunia periklanan saat ini berhasil menjadikan perempuan sebagai komoditi yang dikomersialisasikan untuk kepentingan industri.
Pada sebuah tayangan iklan televisi yang menawarkan produk pengharum lantai diperlihatkan sebuah adegan slice of life yang memvisualisasikan seorang ibu rumah tangga yang membawa pel serta suami nya yang memakai baju kantor. Ketika lantai di rumah mereka kotor maka dengan cekatan si ibu membersihkannya menggunakan super pell.
            Ide dasar untuk memvisualisasikan iklan tersebut dihubungkan dengan bentuk rutinitas  ibu rumah tangga setiap hari. Visualisasi representasi iklan tersebut memanfaatkan kode-kode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota keluarga.  Perempuan dalam hal ini dijadikan subjek untuk membangun citra suatu produk lewat perannya sebagai ibu rumah tangga. Penawaran produk yang seyogyanya memperlihatkan keunggulan produk tersebut, namun nyatanya didominasi cuplikan peran seorang ibu rumah tangga yang mudah diterima audience. Iklan tersebut merefleksikan peran seorang ibu rumah tangga yang sepenuhnya bertanggung jawab dalam sektor domestik khususnya disini kebersihan lantai.



2.Islam dalam Memandang Kesetaraan Gender
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan penggambaran iklan tersebut. Bukannya memang tugas seorang perempuan untuk mengurus anak dan suami.” Ujar salah seorang peserta diskusi Naashiril Haq. Berbeda dengan Naashiril Haq, Nurul Fauziyah yang merupakan mahasiswi KKI mengatakan bahwa Al-Qur’an sendiri telah berbicara mengenai gender .
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Laki-laki itu pemimpin atas perempuan (Q.S An-Nisa:34)
Tafsiran dari ayat tersebut sebenarnya bukanlah laki-laki dan perempuan dalam perspektif sex. Karena kunci dari kata Ar-rijalu dan An-Nisaa bukanlah untuk menunjukan jenis kelamin namun sebaliknya ini merupakan dalil keadilan gender dalam Al-Qur’an. Seorang perempuan yang memiliki kapasitas melebihi seorang laki-laki disini bisa dikatakan sebagai Ar-rijalu. Banyak laki-laki yang menjadikan ayat ini sebagai legalisasi untuk mereka berbuat semena-mena terhadap perempuan, namun kenyataannya mereka bodoh untuk memahami ayat ini. Mereka hanya melihat segi tekstual namun tidak memperhatikan tafsir yang merujuk pada kondisi masyarakat saat turunnya ayat tersebut.
Sejalan dengan ucapan Nurul, Fikri mengatakan  bahwa tidak ada salahnya seorang perempuan menjadi pemimpin, dahulu di zaman Para Sahabat, Siti Aisyah berperan sebagai pemimpin di perang Jamal. Ini membuktikan bahwa islam tidaklah melegalkan ketidakadilan gender terhadap kaum perempuan.
3. Bias Gender dan Budaya Patriaki
Bukanlah islam yang harus disalahkan mengenai ketidakadilan gender di tengah masyarakat Indonesia. Namun budaya patriaki yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat yang harus di koreksi.
Permasalah yang menjadi wacana gender ini mulai timbul mana kala estesisasi untuk merefleksikan produk menyinggung bias gender di dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu untuk membangun citra suatu produk berakhir dengan sebuah kontroversi ketidak adilan gender di dalamnya. Contoh yang mudah dijumpai pada komoditas keperluan rumah tangga, dan anak. Disana akan dijumpai perempuan menjadi pemeran utama yang di visualisasikan melalui sebuah iklan. Hal ini didasari pada fenomena kode-kode sosial yang ada. Bahwa peran gender yang pas untuk fungsi dan kepengurusan merawat serta mengasuh anak-anak lebih ditujukan kepada perempuan. Ditambah dengan visualisasi yang sedemikian dramatis menambah kokohnya kontruksi sosial yang coba dibangun melalui sebuah iklan.
Namun ada hal yang menggelitik mengenai iklan, meskipun iklan hadir sebagai sarana untuk membuat khalayak membeli produk yang diiklankan namun tidak serta merta masyarakat percaya dan tertarik atas apa yang diiklankan seperti yang dikatakan oleh Fikri Dzulfikar.
Sebuah studi juga melaporkan bahwa lebih dari 70 persen konsumen tidak percaya iklan yang menggunakan hasil tes untuk menyokong keunggulan produknya. (Engel, Blackwell, dan Paul,1995: 30)








C.Kesimpulan
Iklan dan Perempuan tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari karena perempuan menjadi sasaran empuk dalam dunia periklanan. Maka iklan tanpa wajah perempuan akan terasa hambar. Iklan bukan hanya sekedar mengekplorasi nilai-nilai produk yang diiklankan, lebih dari itu iklan juga berusaha membangun nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Perempuanlah yang sering menjadi pihak tersakiti dengan nilai-nilai yang dibangun oleh iklan.
Persoalan gender atau kesetaraan gender bukanlah hal baru dalam ilmu sosial seperti hukum, ekonomi. Namun hal itu tidak serta merta membuat masyarakat paham mengenai apa itu kesetaran gender. Banyak masyarakat yang masih awam kendati sudah ada upaya untuk memberikan pengetahuan terhadap mereka. Hal ini diyakini karena kuatnya sistem Patriaki di Indonesia khususnya di daerah Jawa.
Permasalah yang menjadi wacana gender ini mulai timbul mana kala estesisasi untuk merefleksikan produk menyinggung bias gender di dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu untuk membangun citra suatu produk berakhir dengan sebuah kontroversi ketidakadilan gender didalam nya. Contoh yang mudah dijumpai pada komoditas keperluan rumah tangga, dan anak. Disana akan dijumpai perempuan menjadi pemeran utama yang di visualisasikan melalui sebuah iklan. Hal ini didasari pada fenomena kode-kode sosial yang ada. Bahwa peran gender yang pas untuk fungsi dan kepengurusan merawat serta mengasuh anak-anak lebih ditujukan kepada perempuan. Ditambah dengan visualisasi yang sedemikian dramatis menambah kokohnya kontruksi sosial yang coba dibangun melalui sebuah iklan.




D. Daftar Pustaka
Buku
Engel,James F.,Blackwell,Roger D., & Minniard,Paul W. 1995. Perilaku  Konsumen. Jakarta:Binarupa Aksara

Fakih,Mansour.2001.Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar

Gazali,Effendi.2002.Penyiaran Alternatif tapi Mutlak.Jakarta:Jurusan Ilmu Komunikasi 
            FISIP Universitas Indonesia
Irwanto.2006.Focused Group Discussion (FGD) Sebuah Pengantar Praktis.Jakarta:        Yayasan Obor Indonesia

Jurnal Online
Suasana,Arif A. Januari 2001, “Hubungan Gender dalam Representasi iklan Televisi”. Nirmala Vol. 3 , 16 Januari 2015.

 E. Lampiran Dokumentasi Kegiatan

Gambar II: Suasana ketika FGD berlangsung


                                        

                                          Gambar III: Suasana ketika FGD Berlangsung



Gambar IV: Salah seorang peserta sedang menyampaikan pendapatnya


5 komentar: